Mengokah “Negeri Asap”, Sebatang Tiang Pancang Cerpen Riau
Tahniah.
Dunia literasi Riau setiap tahunnya bergembira dengan kedatangan buku-buku baru
yang secara sengaja dan sadar diterbitkan oleh salah satu penerbit besar di
Indonesia. Yayasan Sagang secara terstruktur memiliki agenda publik yang besar
untuk meningkatkan kemampuan menakar dunia sastra ke dalam lingkungan
masyarakat. Buku-buku inilah yang menjadi ‘candu’ tersendiri bagi
penulis-penulis muda, atau bahkan penulis belia yang kelak juga akan mengisi
tulisan-tulisan di buku tersebut.
Menulis
adalah kegiatan kreatif yang mampu menakar intelektual seseorang. Jika ia
seorang penulis fiksi maka dunia imajinernya yang disujudkan dalam kata-kata.
Menulis ibarat sebuah kegiatan yang tak henti dilakukan manusia dari zaman ke
zaman, maka ini juga sebagai penanda seperti yang diucapkan oleh seorang
penulis tetralogi Pulau Buru (baca:Pramoedya Ananta Tour) bahwa, “Orang boleh
pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat
dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”.
Selayaknya
mendalami kalimat Pramoedya tersebut, maka jelas sudah Yayasan Sagang datang
untuk mengakomodir kegelisahan penulis yang belum memiliki corong besar untuk
meluapkan gairah imajinasinya sebagai penulis. Dalam hal ini, digarisbawahi
dalam genre cerita pendek. Hakikatnya, cerita pendek ialah salah satu jenis
fiksi yang paling banyak ditulis orang. Maka dengan hadirnya buku-buku cerpen
“Negeri Asap” layaknya mendapat tempat pula dalam kehidupan literasi masyarakat
Riau.
Negeri
Asap sendiri diluncurkan pekan terakhir November, dalam sebuah sesi anugerah
Sagang sendiri. Ada tujuh belas nama
yang termaktub dalam kumpulan cerpen ini, seperti Hang Kafrawi, Syafrudin Saleh
Sai Gergaji, Taufik Ikram Jamil yang merupakan sastrawan lokal yang bercitarasa
nasional. Ditambah lagi dengan beberapa nama Cikie Wahab, Riki Utomi, M.Badri,
Dessy Wahyuni, Nasrulloh Habibi, Novri Kumbara, Jumadi Zanu Rois, Rian Harahap,
Azwar R Syafrudin, Dafriansyah Putra, Adi Zamzam dan Relly A Vinata. Sementara,
judul buku ini sendiri terinspirasi dari sebuah cerpen “Kampung Asap” yang
digoreskan oleh Zulhelmi Amran.
Jika
kita melakukan kilas balik dalam tiga tahun belakangan ini, ada beberapa nama
cerpenis yang tidak lagi masuk dalam buku kumpulan cerpen pilihan Sagang “Negeri Asap”. Pada tahun 2012 dengan
terang buku “Dari Seberang Perbatasan” nama-nama penulis luar Riau masih
mendominasi, seperti Hermawan Aksan dan Khrisna Pabichara. Tahun 2013 dalam
kumpulan cerpen pilihan Sagang “Melabuh Kesumat” nominasi nama-nama yang hadir
semakin sedikit dihuni oleh penulis luar. Seakan cerpenis lokal sedang bergulat
dengan dirinya sendiri untuk terus menghasilkan karya. “Negeri Asap” seakan
penabuh genderang pergulatan yang semakin apik dalam jiwa cerpenis Riau.
Nama-nama yang tersebut di atas adalah mereka yang memiliki ketunakan menulis
di tanah melayu.
Negeri
Asap layaknya sebuah kitab yang merangkum cerpen-cerpen bernas dari seluruh
penjuru Indonesia, namun cita rasa kearifan lokal semakin kental dalam buku
ini. Tidak bermaksud untuk membuka ruang pembatasan lokalitas dengan
globalitas, namun disini bisa dilihat sebagai akar bahwa masa emas kepenulisan
prosa Riau bisa kembali diperhitungkan di kancah nasional.
Dalam
cerpen “Kampung Asap”, unsur klenik/magis yang masih hidup dikontraskan oleh
Zulhelmi Amran, ia membuat supremasi penolakan bahwa di zaman ini tidak ada
lagi yang bersifat animisme. Ihwal magis yang diperankan oleh tokoh Tuk Bomo,
menerangkan secara jelas bahwa manusia khususnya di kampung-kampung atau
pedesaan masih banyak yang memelihara tradisi percaya dengan takhayul. Tuk Bomo
yang mempengaruhi segenap kehidupan masyarakat lewat sesajen dan ritual upacara
perdukunannya selalu dianggap sebagai penyelamat kampung. Awal mula konflik
yang kontras disini adalah ketika Tuk Bomo memiliki seorang menantu yang
merupakan Ustad dahulunya.
Keberadaan
Tuk Bomo inilah yang dianggap keramat sehingga asap-asap yang keluar dari
rumahnya dianggap berkah bagi warga kampung. Hingga akhirnya menantunya pun
mengikuti gelagat Tuk Bomo. Ia pun memiliki cucu namun belum genap sebulan,
sudah sakit-sakitan dan batuk terus menerus. Midan yang merupakan menantunya
itu mengira bahwa itu datang dari asap yang mengepul dai sesajen Tuk Bomo, ia
pun memadamkan asap. Tapi lain hati, Tuk Bomo terkuras amarahnya melihat semua
tindakan Midan, ia pun kembali menghidupkan asap. Alhasil di akhir cerita cucunya
tersebut tewas, namun di dalam kepala Midan asap itu yang membuat anaknya sesak
napas, tapi Tuk Bomo mengatakan bahwa asap yang terhenti tadilah penyebabnya,
dan orang kampung lebih percaya dengan Tuk Bomo.
Ada
hajat besar yang disampaikan penulis lewat cerpen ini. Wajah kampung yang
semakin lama semakin tergerus zaman, dan tidak mengarah pada peradaban kota. Di
kota memang orang tak lagi mempercayai magis, atau malah menuhankan materi.
Konsep klenik/magis yang ditawarkan “Negeri Asap” menjadi ruang baru dan ini
ditulis oleh penulis muda.
“Esensi
cerita pendek yang baik bukan soal pendek panjangnya, akan tetapi bagaimana
dalam dan lewat suatu pengisahan peristiwa kecil yang kompak dapat bercahaya
suatu pijar pamor kemanusiawian yang menyentuh, yang mengharukan, yang
mengimbau pembaca mencicipi setetes madu manis atau racun pahit kemanusiawian”.
(YB Mangunwijaya, 1995:7 dalam kumpulan cerpen pilihan KOMPAS 1995)
Modal
besar yang dimiliki seorang cerpenis harus berani mengambil kesempatan untuk
menuangkan resiko-resiko imajinatifnya. Dari cerpen pertama di atas memang
layak mendapat sambutan sebagai tongkat estafet menanjaknya kreatifitas penulis
prosa Riau. Lain Zulhelmi Amri lain lagi dengan Hang Kafrawi. Ia adalah peraih
Budayawan Anugerah Sagang 2014. Ia dikenal sebagai dramawan dan prosais.
Cerpen-cerpen yang ia tuliskan selalu berangkat dari kearifan lokal dan
beberapa merupakan dunia persimbolan dari kampungnya.
Entah
setakat dengan maksud beliau menulis ini, namun ada hal yang menarik jika kita
mengupas cerpennya yang berjudul “Rumah di Ujung Kampung”, ia membuka dengan
kalimat “Seorang lelaki berusia 70 tahun, duduk di tangga depan rumah
panggungnya yang terbuat dari papan.” Ini merupakan penggambaran seorang tua,
yang menghabiskan masa rentanya di kampung bersama kampung yang bersahaja.
Namun, dalam cerita ini Hang Kafrawi dengan cerdik menggambarkan bahwa kampung
itu tak lagi kampung. Sebab hanya rumah Pak tua itulah yang tinggal,
dikarenakan muasal kampung yang berubah menjadi lahan perusahaan.
Tokoh
pak tua semakin menguat setelah diasah dengan beberapa peristiwa. Ia didatangi
oleh orang-orang yang dikenalnya dan kini bekerja untuk perusahaan tersebut. Ia
dirayu untuk menukarkan tanah beserta rumahnya dengan segepok uang. Pak tua
tetap menabuh tabir tak gentar. Petikan kata ini, “Ini tanah aku! Tanah inilah
marwah aku satu-satunye!”
Hang
Kafrawi sebagai penulis cerdik menempatkan agenda politiknya sebagai seniman.
Ia menolak keras setiap pencaplokan tanah-tanah di atas tanah ulayat. Ujung
dari kisah ini adalah kekekalan niat pak tua untuk terus bertahan di atas tanah
rumahnya, sementara pihak perusahaan yang merupakan tetangganya dahulu sudah
menyorongkan ujung senapan ke kepalanya. Ada penggambaran bahwa pak tua terkena
tembakan, sementara dua orang tersebut kena sabetan parangnya. Namun, bukan itu
yang ditulis Hang Kafrawi di akhir cerpennya. “Ini tanah aku! Siapa pun tidak
bisa mengusirku!”
Dalam
cerpen ini, periode konflik sosial dimaktubkan secara jelas. Inilah kisah
beberapa daerah di Riau yang sedang dilanda kepentingan oknum pejabat, mereka
tidak lagi mengenali wajah kemanusiaan, merusak hutan adat dan ulayat demi
membangun pabrik-pabrik. Hang Kafrawi sebagai seorang anak jati Pulau Padang,
mungkin menangkap kisah ini dari riset panjangnya di daerah tersebut, atau
boleh jadi ini masih terjadi.
Menurut
teori, bagaimanapun seseorang (pengarang) senantiasa dipengaruhi oleh dua
faktor penting, yakni : (a) karya yang sudah (pernah) ada dan (b) lingkungan
sosio-budayanya (Junus, 1985:140). Wajah pengeroyokan pak tua oleh pihak
perusahaan merupakan struktur lingkungan sosio-budaya yang menarik untuk
diceritakan lewat media cerpen. Kemampuan untuk menukarkan konflik fisik yang
biasanya sadis dengan konflik batin yang membuat pembaca untuk mencenungi kalimat
demi kalimat.
Seorang
penulis pada dasarnya adalah seorang pengamat masyarakat dengan kacamatanya
yang human (kemanusiaan). Karena
lahan garapannya adalah kehidupan manusia itu sendiri, maka yang ditulis
penulis adalah manusia dengan plus minusnya. “Negeri Asap” sendiri merupakan
kumpulan cerpen yang ditulis dengan segenap kearifan lokal. Masalah entitas
sosial budaya diselipkan sebagai bagian penting dari cerpen tersebut. Cerpen
tak lagi hanya penggugah cinta dan lara. Ada masalah besar yang masih belum
digali, harta karun masalah itulah yang sedang dicari penulis Riau saat ini.
Yayasan Sagang sudah tepat memberikan wadah untuk penulis tersebut. Tiang
pancang sudah ditanam, regenerasi “Negeri Asap” akan terus berlanjut. Syabas!
Rian
Kurniawan Harahap adalah Mahasiswa Magister Manajemen Pendidikan UNRI. Menulis
Esai dan Cerpen di beberapa media massa.
cerpen bisa di unduh?
BalasHapus